Alhamdulillah akhirnya bisa juga ikutan GAnya Niar yang imut lincah dan manis, Memang sempat memutar otak untuk ikut GA ini.
Berbicara
masalah bahasa daerah aku punya pengalaman menarik sekaligus memalukan
yang tidak akan pernah aku lupakan sampai sekarang tapi dari situ membuka
kesadaranku betapa pentingnya belajar bahasa daerah atau tepatnya bahasa jawa dengan baik dan benar (karena aku
tinggal di Surabaya
bagian dari pulau Jawa belahan timur).
Suatu
hari ketika masih SMA, rame-rame bersama teman aku jalan-jalan ke Jogja yang notabene masyarakat dikota itu kulturnya lebih
halus dalam sikap atau bertutur kata jika dibanding dengan masyarakat Surabaya pada umumnya. Aku ke Jogja dalam rangka melihat acara sekatenan, otomatis ada keramaian di sekitar keraton Jogja.
Setelah beberapa lama jalan-jalan ternyata rasa haus dan lapar mulai
menghampiri dan perutpun mulai teriak-teriak minta diisi.
Kamipun sepakat mencari makan murah meriah yang penting
kenyang, maklum aja untuk anak-anak SMA yang tidak banyak duit yang penting bisa mengenyangkan perut. Sesampai di sebuah warung kecil tanapa buang-buang
waktu langsung nyamperin ibu penjual makanan.
“Bu, sego campur loro karo sego rawon loro terus es teh papat.Si Ibu penjual tadi kaget mendengarkannya ucapanku sepontan nanya ke saya“Sampeyan ini sangking pundi tho ?”“Suroboyo !! ono opo bu” jawab kami hampir serempak“Oh…., Kok ora nduwe unggah ungguh karo wong luweh tuo”Gubraaaaksss!! @#$%! mendadak muka kami jadi merah padam menahan malu, makan rasanya tidak konsentrasi lagi entah rasa makananya seperti apa sudah tidak terpikirkan, pengennya langsung kabuuurr sambil nutup muka
Dari
pengalaman itu aku sadar bahwa belajar bahasa itu penting dalam hal ini bahasa
Jawa, agar tidak terjadi kesalah pahaman seperti dulu, mungkin beda di Surabaya beda juga di
Jogja karena kultur dan karakter masyarakat keduanya berbeda.
Kuceritakan
pengalaman ini pada ibuku, sambil tersenyum ibu berkata “mangkane le, ojo
ngremehne boso Jowo, boso Jowo iku ono telung macem yoiku kromo ngoko, kromo
madya lan kromo inggil”
“Cara
pemakaiannya beda-beda, jadi tidak salah jika dibilang tidak punya
unggah-ungguh” ledek ibuku sambil meninggalkanku yang lagi bengong.
Tapi tak urung ibuku juga yang ngajari menerapkan kromo ngoko, kromo madya dan kromo inggil dengan benar. Dan buah kesabarannya alhamdulillah aku bisa berbahasa Jawa dengan baik walau tidak sepandai para sesepuh dulu. Jadi intinya jangan pernah merasa malu mempergunakan bahasa daerah karena bahasa daerah mengandung filosofi yang tinggi dalam kehidupan.
Tapi tak urung ibuku juga yang ngajari menerapkan kromo ngoko, kromo madya dan kromo inggil dengan benar. Dan buah kesabarannya alhamdulillah aku bisa berbahasa Jawa dengan baik walau tidak sepandai para sesepuh dulu. Jadi intinya jangan pernah merasa malu mempergunakan bahasa daerah karena bahasa daerah mengandung filosofi yang tinggi dalam kehidupan.
nuwun sewu buka segel komen dulu ah.. #biar punya unggah ungguh hahaha
ReplyDeletesilakan..silakan, anggap aja rumah sendiri
Deletekulo komen setunggal maleh inggih Cak.. mugi-mugi artikel njenengan berjaya di angkasa haha
ReplyDeleteaamiin... sing penting podho penake wae
Deletekulo nambah maleh komen inggih Cak hahaha
ReplyDeletepokoknya anggap aja rumah sendiri
Deletewalaah... bisane ngenyek aku... jebule podho ae...
ReplyDeleteserupa tapi tak sama...
Deletesing penting sekarang kan bisa kromo inggil
unggah ungguh sekarang sudah melebur ya mas insan???miris
ReplyDeletetp meski saya sdh jauh di Batam tp ttp stempel Jawanya msh bertahan trmsuk unggah ungguhnya hehehe