Monday, June 18, 2012

Mengenang Cinta Putihmu



Dari kejauhan lamat-lamat terdengar langkah-langkah kaki kecil yang berlari menujuku, kian dekat dan menghampiriku, seorang gadis kecil mendatangiku dengan nafas yang terengah-engah

"Om Yudhis..., Rizka kasih tau deh"   Rizka memanggilkan sembari mengatur nafasnya

"Ada apa Rizka, Serius amat"

"Om tau kan sama Kak Ita ?

"Hmm..., Kak Ita yang mana yah ?  aku mengerutkan dahi

"Itu loh, Kak Ita yang kemaren malem datang kesini"  Rizka coba menjelaskan

"Oh itu, yang pakai kaca mata itu ?"

"Iya.. betul Om"

"Emang kenapa kak Ita?" tanyaku penasaran

"Sini deh Om, Rizka bisikin"

"Kenapa sih harus bisik-bisik segala, kan gak ada siapa-siapa disini"

"Oh iya..ya...!"  jawab Rizka sambil tersipu malu

"Om..., tadi Kak Ita nitip salam loh"

"Waalaikumsalam" jawabku

"Ini Serius Om!!"

"Loh..! Om Jawabnya kan juga serius juga Riz"

Rizka tersenyum hingga tampak giginya yang putih berbaris rapi, Rizka adalah gadis kecil keponakanku, dia sangat akrab denganku, walau kami tidak serumah bahkan tidak tinggal dalam satu kota, dia di Jakarta aku di Surabaya. Seperti biasanya kalau aku liburan semester menyempatkan untuk menemui keponakan tercinta.

Rizka juga yang mempertemukan aku dengan Ita atau lengkapnya Dede Rosita, seorang gadis keturunan Sunda dan Palembang, dari pertemuan pertama ini ada sesuatu perasaan lain dalam hatiku. Inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan petama..?, entahlah apapun namanya, yang jelas seperti ada suatu sinergi antara aku dan Ita, kamipun sepakat untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi, walau dengan sebuah hubungan jarak jauh, Ita di Jakarta aku di Surabaya.

Waktu demi waktu kulalui. Kami semakin merasa ada kecocokan dalam banyak hal. Ita bukan hanya cantik bagiku, tapi dia seorang muslimah yang taat dalam ibadahnya, dia sosok yang anggun dan bersahaja. Sepertinya aku rela memberikan cinta ini kepadanya, seperti dia juga ikhlas memberikan cintanya padaku. Dan alhamdulillah dari kedua orang tuapun sudah memberi lampu hijau atas jalinan kasih kami berdua.

Kamipun sepakat untuk serius dengan hubungan ini, dan dalam doa yang kupanjatkan, aku berharap Ita adalah wanita yang akan menjadi pendamping hidupku, bersama membangun mahligai rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah. Aku membayangkan sebuah keluarga kecil yang sederhana tapi penuh dengan rasa kasih dan sayang.

Ternyata harapan tinggal harapan, bayangan yang indahpun tidak selamanya bisa terwujud. Manusia bisa merencanakan tapi jodoh tetap di tangan Tuhan. Suatu ketika Ita menelponku, memintaku untuk segera datang ke Jakarta, ada hal penting yang ingin disampaikan, walau aku meminta untuk disampaikan via telpon, tapi dia tetap ngotot agar aku segera datang ke Jakarta. Aku bingung ada apa ini, Surabaya - Jakarta bukanlah tempat yang dekat, tapi aku tetap berjanji akan segera datang ke Jakarta.

Dengan sejuta rasa penasaran aku berangkat ke Jakarta dengan naik kereta, untuk ukuran mahasiswa tingkat akhir, kereta sudah tumpangan yang lumayanlah, yang penting bisa menemuinya. Sesampai di Jakarta sudah tidak sabar lagi untuk menemui Ita, segera kutanyakan apa yang ingin di sampaikan kelihatan begitu penting banget

"Ada masalah apa Ita, sebegitu pentingkah hingga aku harus ke Jakarta?"

 Ita hanya diam, pandangannya tertunduk.

"Katakan Ita apa yang terjadi denganmu?"  aku makin penasaran

Ita masih terdiam sambil memainkan jari-jemarinya, tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya yang mungil.

"Please.., tolong katakan padaku, aku sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, ayolah katakan padaku, apa masalahmu?"  ucapku memohon.

"Apa kamu dimarahin mama-papamu?"

Ita hanya menggelengkan kepala

"Kamu sakit ?"

Ita masih menggelengkan kepala tanpa sepatah katapun terucap.

"Atau mungkin aku melakukan kesalahan padamu?"

Ita masih menggelengkan kepala, kali ini bulir-bulir air matanya mulai mengalir dipipi  merahnya.

"Ayolah katakan Ita, ada apa ?",  air matanya membuatku makin panik.

"Aku mencintaimu Yudhis"  ucap Ita pelan dan terbata-bata.

"Kamu tahu akupun sangat mencintaimu, dan berharap kamu menjadi pendampingku nanti"

Mendengar kata-kataku, Ita makin menangis sesenggukan.

"Maaf Yudhis jika aku membuatmu kecewa, aku tidak akan bisa menjadi pendampingmu"

"Apa..?" aku seperti tidak percaya dengan kata-kata Ita barusan.

"Apa maksudmu Ita..?  sungguh aku tidak mengerti semua ini"

"Maafkan aku Yudhis, jika aku mengecewakanmu" Ita memandangku dengan mata sayu.

"Aku terpaksa mengambil keputusan ini, walau sangat sulit bagiku"

"Segera katakan keputusan apa itu Ita?"  aku makin tidak sabar

"Aku terpaksa menerima pinangan laki-laki lain, anak dari sahabatnya papa"

"Haah..!!" aku seperti tidak percaya dengan kata-katanya yang barusan ku dengar. Rasanya seperti petir menyambar sekujur tubuhku, semua jadi gelap, aku merasa dikhianati, dia gadis pertama yang bisa meluruhkan hatiku dan bisa berpikir serius.

"Jadi hanya untuk inikah aku kamu suruh datang ke Jakarta.?" bibirku bergetar menahan emosi

"Sekali lagi maafkan aku Yudhis, kamu boleh katakan apa aja tentangku, kamu boleh katakan aku pengkhianat, aku brengsek atau apapun. Aku rela, aku ikhlas, tapi satu hal yang kulakukan ini semata karena aku sangat mencintaimu"  tampak Ita mengusap air mata yang makin deras.

"Apa...? kamu masih bisa mengatakan cinta dengan keadaan seperti ini,"  teriakku sambil menatap Ita, tajam.

"Kamu  masih berdalih rasa cinta sebagai pembenar atas yang kau lakukan. Omong kosong semua itu Ta. Tak ada gunanya lagi kamu ucapkan kata cinta kepadaku. Aku benar-benar kecewa padamu".  hatiku makin bergemuruh menahan amarah.

"Aku tahu, kamu pasti marah dengan keputusanku ini, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa aku memilih untuk tidak menjadi pendampingmu"  Ita mencoba menjelaskan

"Cukup..!, Kebohongan apa lagi yang akan kamu berikan untukku"  kemarahanku makin memuncak.

Ita tersentak kaget dan tampak ketakutan  melihat kemarahanku, air matanya jatuh kian tak terbendung.

Akupun akhirnya luluh juga hatiku, melihat Ita  menangis.

"Oke, maaf Ta, jika aku berkata kasar padamu"

"Kalau itu memang pilihanmu, semoga engkau berbahagia, kapan prosesi pernikahanmu?"

"Insya Allah bulan depan, jika kamu tidak keberatan datanglah di resepsi pernikahanku"

Aku menghela napas panjang, untuk menenangkan sejuta perasaan yang berkecamuk di hatiku

"Aku tidak bisa janji Ta, apakah sanggup melihat wanita yang aku cintai, duduk dipelaminan bersama laki-laki lain"

"Tapi aku tetap berharap kamu bisa datang Yudhis"  pinta Ita pelan.

"Entahlah, sepertinya aku butuh waktu untuk menenangkan pikiran dulu, aku pulang dulu" ucapku sambil beranjak dari kursi.

Ita masih duduk terdiam, seolah tidak ingin aku cepat-cepat pulang, tapi bagiku tidak ada artinya aku berlama-lama disini situasinya sudah berbeda dengan yang dulu, Ita yang sekarang berbeda dengan Ita dulu, maka tanpa berlama-lama segera meninggalkannya sembari berucap salam padanya. 

Malam ini benar-benar malam yang paling menyebalkan bagiku. Gemerlap kota Jakarta terasa gelap bagiku, deru suara kendaraanpun seakan sepi tidak terdengar ditelingaku. Yang ada hanya rasa resah, gelisah, penyesalan, ingin marah serta rasa kecewa yang campur aduk jadi satu.

Aku seperti kehilangan gairah, harapanku untuk bisa memiliki pendamping hidup yang kuimpikan telah pupus ditengah jalan. Aku pasrah, aku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya keputusan Ita, apa yang bisa dibanggakan dari mahasiswa yang belum punya penghasilan seperti aku. Akhirnya untuk menghibur diriku sendiri, aku berucap dalam hati "mungkin Ita bukan Jodohku" biarlah Ita hanya jadi bagian dari sejarah hidupku.

***  

Lebih satu tahun waktu berlalu, walau belum bisa sepenuhnya melupakan Ita, tapi rasa kecewa itu sudah mulai terkikis sedikit demi sedikit. Tapi mendadak aku dikejutkan oleh telpon dari Rizka, pagi-pagi Rizka menelponku dari jakarta, dia mengabarkan bahwa Ita telah pergi menghadap Ilahi, kanker rahim telah merenggut nyawanya.

Rizkapun memintaku untuk segera ke Jakarta, ada sesuatu dari Ita yang dititipkan padanya. Aku hanya bisa diam terpaku, bingung menterjemahkan perasaanku sendiri, haruskah aku bersedih dan menangis?. Menangisi orang yang pernah mengkhianatiku, yang sekarang sudah menjadi istri orang lain, ataukah aku harus tertawa puas ?.

Tapi sungguh manusia yang biadab jika aku tertawa dibalik penderitaannya, Ita yang telah berjuang melawan ganasnya kanker. Bagaimanapun juga Ita yang pernah menulis bait-bait cinta dalam hidupku. Tapi...!, Ahhh.... aku benar-benar bingung...!, antara datang ke Jakarta atau mengikuti nafsu amarahku. Diantara kebimbangan itu akhirnya kuputuskan untuk berangkat juga ke Jakarta.

Tapi sayangnya sesampai di Jakarta, aku tidak bisa memberikan penghormatan terakhir untuk Ita, jasadnya sudah keburu dimakamkan. Dengan ditemani Rizka aku menuju ke makamnya, suasana sudah sepi, kulihat hanya gundukan tanah yang masih basah bertulisan nama Dede Rosita di batu nisannya. Kutatap dalam-dalam nama itu, nama yang dulu indah bagiku.

"Om..!, ini dari Kak Ita",  suara Rizka membuyarkan lamunanku.

"Apa ini Rizka ?.

"Ini surat dari kak Ita sebelum meninggal" Rizka menyodorkan sebuah amplop dengan mata berkaca-kaca.

Ku buka amplop putih, berisi surat berwarna merah jambu dan ku bacanya dengan perlahan.

"Yudhis..,

Maafkan jika surat ini hanya membuatmu makin marah padaku, Aku tahu kamu telah melupakanku, terbukti dari beberapa kali aku nelpon dan sms, tidak satupun yang kamu balas.

Itu bukan salahmu, semua aku yang salah, yang tidak bisa konsisten dengan kata-kata sendiri.

Sekarang aku jelasin, mengapa waktu itu aku memilih untuk tidak meneruskan hubungan kita. Maafkan jika waktu itu aku terpaksa berbohong, bahwa telah dipinang oleh anak dari sahabat papa, semua itu hanyalah sandiwara yang aku buat agar kamu bisa melupakanku, pinangan itu tidak pernah ada. Aku tidak tahu dengan cara apa agar kamu bisa melupakanku. Aku tidak mau kamu ikut terbebani dengan penyakit ini. Dokter telah memvonisku tidak akan bisa bertahan lama lagi hidup.  Percayalah semua itu aku lakukan karena besarnya rasa cinta yang kuberikan untukmu.

Yudhis...

Sampai saat ini, saat menulis surat ini, rasa cinta itu tidak pernah padam, bahkan rasa cinta ini aku bawa sampai mati.

Terakhir aku mohon maaf sebesar-besarnya, jika telah membuatmu kecewa dan marah padaku. Satu hal yang Ita perlukan saat ini, yaitu pintu maaf darimu, yang bisa meringankan beban perjalananku dalam menghadap sang Maha Pencipta.

Selamat tinggal Yudhis"

Dariku
Dede Rosita

Berulang-ulang kubaca-surat itu, tak terasa surat itu telah basah dengan tetesan air mataku, aku benar-benar shock setelah membaca surat ini, hanya penyesalan yang ada didiriku.

"Mengapa ini kamu lakukan Ita".

"Mengapa kamu merahasiakan sakitmu".

"Mengapa kamu harus berbohong padaku".

"Mengapa kamu tidak memberiku kesempatan, ada disaat-saat terakhirmu"

"Mengapa... Mengapa...!".

"Maafkan aku yang sudah berprasangka buruk terhadapmu".

"Maafkan aku yang tidak mau menerima telponmu".

"Maafkan aku yang tidak pernah membalas smsmu".

"Maafkan aku Ita"

Aku masih bersimpuh lemas didepan makamnya, dengan sejuta penyesalan.

"Percayalah Ita..., cinta putihmu akan kuingat selalu, kucatat dengan tinta emas dalam sejarah hidupku. Aku adalah laki-laki yang beruntung bisa mendapatkan cintamu, walau tidak bisa hidup berdampingan denganmu. Seperti yang pernah kubayangkan dulu".

Pict from google

"Selamat Jalan Ita..., ditanah ini, kuukir sebuah prasasti cintaku, sebagai saksi bahwa aku masih mencintaimu. Sebaris doa ku mohonkan ke pada Sang Pemilik kehidupan ini, semoga Allah berkenan menempatkanmu di Surga-Nya yang Mulia". Amin.



 
  
Nama dan cerita hanya fiksi belaka, bila ada kesamaannya hanya faktor kebetulan semata.


Artikel Media Macarita Sejenis

Categories:

43 comments:

"Setelah dibaca silakan berikan komentar sesuai isi posting. Karena isi posting sopan maka diharap komentarnya juga sopan dan tidak menulis komentar spam yang tidak ada hubungannya dengan posting. Maaf jika komentar OOT terpaksa kami hapus."

  1. Waktu demi waktu berlalu, antara kami semakin ada kecocokan dalam banyak hal, Ita bukan hanya cantik bagiku, tapi dia seorang muslimah yang taat dalam ibadahnya, dia sosok yang anggun dan bersahaja, sepertinya aku rela memberikan cinta ini kepadanya, seperti dia juga ikhlas memberikan cintanya padaku, dan alhamdulillah dari kedua orang tuapun sudah memberi lampu hijau atas jalinan kasih kami berdua, maka kamipun sepakat untuk serius dengan hubungan kami, dan dalam doa yang kupanjatkan, aku berharap Ita adalah wanita yang akan menjadi pendamping hidupku, dan bersama membangun mahligai rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah, aku membayangkan sebuah keluarga kecil yang sederhana tapi penuh dengan rasa kasih dan sayang.===> Kalimat panjaaaaaaang yang cuma dipisahkan dengan koma ini, seharusnya bsia jadi beberapa kalimat. Kalimat utuh yang diakhiri dengan titik. Butuh nafas panjang untuk membaca satu kalimat tanpa titik. Sekalipun dipisahkan dengan koma, justru membuat kalimat itu kehilangan daya pikatnya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Mbak, masukan diatas sangat bagus, insya Allah saya tidak akan berhenti belajar

      Delete
  2. "Apa..? kamu masih bisa mengatakan cinta dengan keadaan seperti ini"
    "Kamu masih berdalih rasa cinta sebagai pembenar atas yang kau lakukan"
    "Omong kosong, semua itu Ta, tak perlu lagi kamu ucapkan kata cinta lagi"
    "Aku benar-benar kecewa padamu Ta"

    *Kalimat percakapan yang diucapkan satu orang, hendaknya diiringin dengan jedah berupa penjelasan kondisi si tokoh. Contoh :

    "Apa ...? kamu masih bisa mengatakan cinta dengan keadaan seperti ini," Yudhis berteriak marah sambil menatap Ita, tajam.

    "Kamu masih berdalih rasa cinta sebagai pembenar atas yang kau lakukan.Omong kosong, semua itu Ta, tak perlu lagi kamu ucapkan kata cinta. Aku benar-benar kecewa padamu Ta." Kemarahan memancar lewat raut wajah Yudhis yang memerah dan urat tangan yang terkepal.

    ReplyDelete
  3. wahhh, kalau cinta Ita di catat dengan tinta emas. Terus cinta dari istrinya [kelak] di catat pakai tinta apa lho? hehehehee...#edisi comment nyleneh

    ReplyDelete
    Replies
    1. biasalah... sebuah gambaran rasa penyesalan dan sayangnya
      Seperti di ibaratkan gunung kan kudaki, lautan kuseberangi..., eh gak nyambung yah..??

      Delete
  4. Percakapan tidak usah ditulis dengan italic (huruf mirin). Italic hanya digunakan pada istilah yang asing.

    "Om sini..., Rizka kasih tau deh" kata Rizka berlari-lari kearahku

    "Katakan Ita apa yang terjadi denganmu?" kataku makin penasaran

    "Aku mencintaimu Yudhis" kata Ita pelan dan terbata-bata.

    "aku tahu, kamu pasti marah dengan keputusanku ini, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa aku memilih untuk tidak menjadi pendampingmu" kata Ita coba menjelaskan

    "Jadi hanya untuk inikah aku kamu suruh datang ke Jakarta.?" kataku sambil menahan emosi

    Beberapa kalimat menggunakan KATA, jika diulang-ulang kesannya membosankan. Gimana kalau cari kosa kata lain (perbanyak kosa kata)


    "Katakan Ita apa yang terjadi denganmu?" tanyaku sambil menatap Ita, makin penasaran

    "Aku mencintaimu Yudhis" ucap Ita pelan dan terbata-bata.

    "aku tahu, kamu pasti marah dengan keputusanku ini, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa aku memilih untuk tidak menjadi pendampingmu." Ita berujar mencoba menjelaskan.

    Intinya, memang perbanyak kosa kata :)
    Alurnya sudah oke, cuma paparannya terlalu bertele-tele. Bisa diringkas dengan kata-kata yang dipadatkan :)

    ReplyDelete
  5. Surat dari Ita ditulis dnegan italic, itu baru bener :)
    Udah aaah kebanyakan kripik pedesnya ntar mencret hahaha

    ReplyDelete
  6. Alur ceritanya bagus mas... saya suka ceritax ^^
    tp utk mengkritisi yg kurang tau, soalx blm prnh menulis fiksi

    ReplyDelete
  7. cerita yang menarik mas...
    dan aku tak hendak mengkritik, hihi. Masukan dari mba Titie juga adalah pembelajaran bagiku yang masih belajar dalam menulis fiksi.

    Satu masukan dariku, ini menurutku lho mas, bagi kenyamanan pengunjung membaca tulisan ini, alangkah akan nyaman bagi mata, jika percakapan yang banyak barisnya itu, tidak terlalu rapat. Coba deh mas perhatikan lagi, dimulai dari kalimat ini:

    "Ada masalah apa Ita, sebegitu pentingkah hingga aku harus ke Jakarta?" sampai ke
    "Entahlah, sepertinya aku butuh menenangkan pikiran dulu, aku pulang dulu" kataku sambil beranjak dari kursi

    itu penulisannya rapat banget, bikin mata cylindrisk ku sepat. :)

    sukses terus ya mas! Cerita yang menarik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mbak...
      ini sebenarnya yang saya butuhkan, masukan dan kritik dari teman. Teman bagiku adalah cermin, dari teman aku bisa berbenah diri

      Delete
  8. selain mendapat inspirasi dari kisahnya, alhamdulillah dapet colongan ilmu dari mba Titie... hihih

    ReplyDelete
    Replies
    1. jiaahhh...., sambil menyelam minum air... hehehehe

      Delete
  9. Cerita fiksi pertamanya boleh juga mas...
    Ditambah masukan dari mbak Titie Surya... betul kata mbak Mira... dapat ilmu juga...

    ReplyDelete
  10. Karena komentar ini berbicara tentang "belajar bersama", maka saya pun ingin mengutarakan sedikit yang dirasa terkait cerpen kak Insan.

    Mungkin sudah disinggung kak Titie, mungkin kak Insan perlu to the point saja. Masih ada beberapa bagian, yang seperti terlalu luas menggambarkannya. Kalimat ini kak: "Ita hanya diam sambil menundukkan pandangannya". Kalau diubah seperti ini, "Ita terdiam, pandangannya tertunduk", kira-kira bagaimana ya?

    Apasih saya, belum pernah buat cerpen juga. Sok memberi kritikan. Hehehe.. Ceritanya, keren kak!

    ReplyDelete
  11. gilaaaaaaaaaaa,,,,,,,,,,
    buat f nangis,,,,,,
    merinding bi,,,

    wah perdana bikin fiksi keren bgt....
    like this yah....

    ReplyDelete
  12. bagus mas.... menjadi referensi bagi saya... apalagi dengan kritikan yang diberikan oleh mbak Titie.... :)

    ReplyDelete
  13. "Kasih putih.. karunia Ilahi.." #sing "Kasih Putih"
    Wauuu. Cerpen perdana karya mas Insan. Bagus. ^_^
    Kritisi dikit. Ada kalimat yg belum dikasih tanda baca. Trus kalau penegasan kalimat tanya mending di capslock aja Mas Insan. Jangan dikasih tanda tanya dua. Kata guru bahasa indonesiaku jangan lupa tanda baca. Nanti nilainya dikurangi. Haha. :D

    ReplyDelete
  14. Kisah nyata mas Robbani ya ..... turut berduka cita atas dipanggilnya Dede Rosita. siip cerita fiksinya.

    ReplyDelete
  15. sebagai tulisan fiksi pertama, ini sudah sangat bagus kang. salut. dulu aku gak bisa menulis sebagus ini. coba lihat tulisan tulisan awalku di blog Fiksiku. sekarang aku tahu di mana letak kesalahan dan kelemahan tulisanku sendiri setelah aku baca lagi akhir akhir ini.

    kalau mau jadi penulis yang baik, sukalah dulu membaca tulisan tulisan yang baik pula, sehingga dari sana kita tahu bagaimana cara menulis yang baik. selain itu, terus berlatih. nantinya akan "alah bisa karena biasa". mari terus maju bersama kang.... :)

    ReplyDelete
  16. keren..merinding. tulisan pertama yang yahud, besok2 nulis fiksi lagi ya mas

    ReplyDelete
  17. @nikenhehehehe... makasih mbak Niken...
    mau ikutan menyelam sambil minum air..??

    ReplyDelete
  18. @NunuTerimakasih Nunu...
    masih mencoba menulis Fiksi

    ReplyDelete
  19. @Erlangga KusumawijayaOke Angga...
    terimakasih telah mengkritisi Fiksi perdanaku
    diperhatikan

    ReplyDelete
  20. @Andro Bhaskaramakasih Andro, memang posting ini edisi untuk di kritik, namanya baru belajar

    ReplyDelete
  21. @Sumiyati Sapriasihmakasih Andro, memang posting ini edisi untuk di kritik, namanya baru belajar

    ReplyDelete
  22. @Arya PoetraSangat2 terimakasih atas kepeduliannya, saya memang butuh masukan sebanyak-banyaknya

    ReplyDelete
  23. @shofie akmalaTerimakasih Ofi, edisi perdana menulis fiksi...
    mudah2an tdk terlalu mengecewakan

    ReplyDelete
  24. @Titie Suryaterimakasih mbak Masukannya..
    sangat membantu sekali

    ReplyDelete
  25. @Titie Suryasiip mbak... saya akan berusaha memperbanyak kosa kata

    ReplyDelete
  26. @Titie SuryaDari masukan mbak Titie, saya bisa belajar

    ReplyDelete
  27. @MUHAMMAD RIDWANterimakasih Kang Ridwan, setidak-tidaknya aku dapat nyolong cara membuat fiksi dari Fiksiqu kemudian dibenahi oleh mbak Titie...
    lama2 kan bisa juga

    ReplyDelete
  28. @Rima Auliamakasih Rima...
    hmm.. fiksi lbh susah ternyata..

    ReplyDelete
  29. kenapa si Ita bisa ngambil kputusan begitu yah? bukankah dgan mnjlani hubungan dgn Yudhis bisa sdikit membuat prasaannya senang bhkan bisa lupa dgn pnyakit yg sdg ia jalani.

    ReplyDelete
  30. @Rizka Herlinamungkin itu yg di inginkan Yudhis, tapi Ita tidak ingin Yudhis semakin sedih bila tau dia bakal tdk lama hidup

    ini tulisan edisi ngawur... wkwkwkwk

    ReplyDelete
  31. Kang insan, alurnya uda bgus...

    Setuju ma mbak titie dan kang arya....

    Banyak kata2 yg harus di koreksi ulang..br ga mubazir kata2.

    Saran : kla mau lihat janggal atau bagus ceritanya..bacanya jgn dalam hati..kata mentor ku

    Mari kita sama2 bljar kang....

    ReplyDelete
  32. waduh... endinge rek..

    apik-apik kok, bakat rek nulis fiksi.. :)

    saya tunggu cerpen-cerpen selanjutnya Mas

    ReplyDelete
  33. @selvimakasih masukannya, akan jadi input untuk menulis fiksi berikutnya

    ReplyDelete
  34. @Lozz Akbarwaduh.. peyek yo peyek tapi ojo diremet-remet..., ngenyek yo ngenyek tapi ojo banget-banget...

    wakakakaka...
    maturnuwun mas Lozz..

    ReplyDelete
  35. selamat jalan buat ita....
    kurang greget ya problemnya :)

    ReplyDelete
  36. selamat jalan buat ita....
    kurang greget ya problemnya :)

    ReplyDelete
  37. bagus kok ceritanya.. Suka, tapi dari segi penulisan... Kayaknya mbak titie lebih paham...

    Jadi bisa belajar juga..., sambil minum nelan obat lah.... :D

    ReplyDelete